-->

ABIYASA

- October 08, 2020

Sebagai seorang pertapa sesungguhnya Abiyasa tidak pemah berkeinginan menjadi raja. Lagi pula, ia merasa tidak berhak menduduki takhta Kerajaan Astina, karena ia tahu yang lebih berhak adalah Resi Bisma alias Dewabrata, putra Prabu Sentanu, raja Astina terdahulu. Namun karena Resi Bisma sudah bersumpah tidak akan menduduki tahkta Astina, Abiyasa terpaksa menuruti kehendak ibunya, menjadi 
raja. Ibu Abiyasa, Dewi Durgandini, sesudah berpisah dengan Palasara menjadi permaisuri Prabu Sentanu. Sebelum Abiyasa naik takhta, yang menjadi raja Astina adalah Citranggada dan Wicitrawirya. Narnun kedua putra Dewi Durgandini dari Prabu Sentanu itu tidak berumur panjang. Keduanya mati muda. 

Sebenarnya, selain mengemban tugas menjadi raja Astina, secara langsung Abiyasa juga mempunyai kewajiban untuk melanjutkan garis keturunan keluarga Barata atau keluarga Kuru. Kedua tugas dari ibunya itu ditunaikannya dengan baik. Selain mengisi lowongan takhta Kerajaan Astina, oleh Dewi Durgandini, Abiyasa juga disuruh mengawini janda-janda kedua adik tirinya. Dengan demikian ia telah membuahkan anak-anak pelanjut keturunan sebagaimana dikehendaki ibunya. 

Setelah usianya lanjut, dan setelah pewaris tahta Astina ada, Abiyasa meletakkan jabatan sebagai raja, pergi kembali ke Gunung Rahtawu untuk menjadi pertapa lagi. Kepada anak-anak dan cucu-cucunya ia 
selalu bersikap adil, walaupun ia sadar para Kurawa sering berbuat tidak jujur kepada para Pandawa. Kedua jaoda adik tirinya yang dikawini oleh Abiyasa itu bemarna Dewi Ambika dan Ambalika. Keduanya adalah putri Prabu Darmarnuka dari Kerajaan Giyantipura. Mulanya kedua putri itu sekaligus menjadi permaisuri Prabu Citranggada. Setelah Citranggada meninggal, keduanya diperistri Wicitrawirya.Dan, sewaktu Prabu Wicitrawirya juga meninggal, keduanya lalu menjadi istri Abiyasa. Tetapi setelah perkawinan itu, di luar kemauan Abiyasa pula, ia mengambil seorang dayang istana sebagai selimya. Nama dayang itu adalah Drati Dari ketiga wanita yang diperistrinya itu masing-masing Abiyasa mendapat seorang putra. Ketiga putra itu diberi nama Drestarastra, Pandu Dewanata, dan Yama Widura. Ketiganya cacat tubuhnya. Drestarastra yang tunanetra sejak lahir kemudian menurunkan para 
Kurawa, sedangkan Pandu Dewanata yang cacat pada lehemya serta berwajah pucat, menurunkan para Pandawa. Putra Abiyasa yang bungsu, Yama Widura, panjang sebelah kakinya, dan kemudian menjadi penasihat Kerajaan Astina. 

Cacat tubuh yang diderita ketiga anaknya itu sebenamya disebabkan karena kutukan dewa, sebab ketiga istrinya merasa jijik ketika harus melayani Abiyasa di tempat tidur. Walaupun pribadinya terpuji dan selalu bersikap lembut, Abiyasa memang berwajah buruk, kulitnya kasar, dan hitam. Penampilan badaniah


Abiyasa memang sangat berbeda dengan suami-suami kedua putri itu dulu. Baik Prabu Citranggada maupun Wicitrawirya, keduanya tamp an dan gagah. Dewi Arnbika selaku istri pertama selalu memejamkan matanya pada saat harus melayani suaminya di ranjang. Akibatnya, ia dikutuk para dewa sehingga anak yang kemudian dilahirkannya buta. Anak itu diberi nama Destarata atau Drestarastra. Istri Abiyasa yang kedua, Dewi Ambalika, dengan wajah pucat selalu memalingkan muka bila bertugas selaku istri. Wajah putri itu pun selalu pucat di tempat tidur. Ia pun dikutuk para dewa sehingga bayi yang dilahirkannya mern-punyai leher kaku dan pucat wajahnya. Bayi itu diberi nama Pandu Dewanata. 

Karena enggan melayani suaminya di tempat tidur, kedua istri Abiyasa itu sepakat untuk menyelundupkan seorang dayang istana bemama Drati ke kamar peraduan Abiyasa. Temyata dayang Drati, yang kemudian diambil sebagai selir pun tidak ikhlas dalam melayani Abiyasa sebagai suaminya. Ia selalu meng- gelinjangkan kakinya bila sedang melayani Abiyasa. 

Karena itu ia juga dikutuk dewa sehingga bayi laki-laki yang dilahirkannya cacat. Putra Drati diberi nama Yama Wi dura, yang panjang sebelah kakinya. ***) 

Karena Drestarastra tunanetra, takhta Astina diwariskan kepada anak yang kedua, Pandu Dewanata. Keputusan ini diambil bukan karena Abiyasa lebih sayang pada Pandu daripada kakaknya, tetapi semata-rnata karena kepentingan kerajaan. Seorang raja tunanetra, menurut pertimbangan Abiyasa tidak akan dapat menjalankan pemerintahan dengan baik. Keputusan Abiyasa ini juga disetujui oleh Dewi Durgandini, ibunya. Dan, terbukti keputusan Abiyasa itu memang tepat. Pandu temyata bisa memerintah Astina dengan baik, adil, dan bijaksana. 

Abiyasa berumur sangat panjang. Setelah rnelepaskan mahkota dan hid up sebagai pertapa, ia masih selalu memperhatikan keadaan Kerajaan Astina. Dengan senang hati Abi yasa memberikan nasihat-nasihatnya pada anak cucunya bila diminta. 

Sesepuh keluarga Kurawa dan Pandawa itu dapat menyaksikan upacara penobatan cicitnya, Parikesit, menjadi raja Astina, Bahkan gelar yang digunakan oleh Parikesit setelah ia menjadi raja, juga Prabu Krisnadwipayana, nunggak semi ***) memakai nama kakek buyutnya Abiyasa meninggal secara sempurna, yang dalam bahasa pewayangan disebut moksa. Waktu akan masuk ke sorga, ia menuntut pada para dewa agar raganya juga dibolehkan ikut. Tuntutan itu dikabulkan, dan menjemput raga Abiyasa dengan kereta cahaya. 


Tentang kematian Abiyasa ini, sebuah versi Mahabarata menceritakan sebagai berikut: 

Suatu saat mendaratlah di alun-alun Astina, sebuah Kretacahya, yakni kereta cahaya. Tidak seorang pun kuat bertahan terhadap hawa panas yang memancar dari dalam kereta itu. Semua keluarga Pandawa ...

CATATAN KAKI: ***) Sebagian dalang ada yang meyebutkan bahwa Dayang Drati sejak keeil memang mengabdi pada Begawan Palasara, ayah Abiyasa di Pertapaan Saptarengga (Sata Arga). la adalah penembang kidung Weda yang sejak semula telah dikenal Abiyasa. Jadi, Drati menjadi istri Abiya:sa bukan karena diselundupkan oleh Dewi Ambika dan Ambalika, melainkan karena dikehendaki Abiyasa. 

CATATAN KAKI: ***) Nunggak semi dalam budaya Jawa adalah menggunakan nama orang tua atau nama nenek moyangnya. 

....mencoba, tetapi mereka pun tidak tahan. Akhimya Prabu Puntadewa mohon agar Begawan Abiyasa 
mencobanya. Waktu kakek para Pandawa itu berjalan keluar dari keraton dan melihat Kretacahya itu, ia segera mahfum bahwa itulah kendaraan yang menjemputnya pergi ke alam abadi. Maka sang Begawan lalu memberikan pesan-pesan terakhirnya kepada sekalian anak cucu, terutama kepada Prabu Puntadewa dan Prabu Parikesit, ten tang bagaimana memerintah sebuah negara dengan baik. Sesudah itu, ia pun masuk ke dalam kereta cahaya itu, yang segera membawanya ke langit, ke alam kematian abadi. Mengenai kapan saat moksanya Abiyasa, sumber pewayangan maupun Mahabarata mempunyai data yang berbeda. Menurut pewayangan, Abiyasa moksa setelah Parikesit, anak Abimanyu berumur 35 hari. Untuk mendapatkan berkah restu dari kakek buyutnya, pada saat upacara selapanan Parikesit dipangku oleh Abiyasa, yang sengaja datang ke Istana Astina dari Pertapaan Wukirahtawu di Sata Arga. Beberapa saat setelah memangku buyutnya itu, Abiyasa merasa ajaInya sudah tiba, namun ia tidak mau berangkat ke sorga bilamana tidak disertai oleh jazadnya. Para dewa mengabulkan tuntutan itu, dan mengirim kereta cahaya guna menjemputnya. Moksanya Abiyasa disaksikan segenap keluarga Pandawa, Prabu Kresna dan Prabu BaIadewa. 

Sementara itu menurut Adiwangsawatarana Parwa, yang merupakan bagian dari Mahabarata, Abiyasa 
moksa pada zaman pemerintahan Prabu Janamejaya, cucu Parikesit. Peristiwa moksanya juga terjadi di 
Istana Astina. 

Abiyasa atau Wyasa inilah yang menulis Kitab Mahabarata, yang di kemudian hari oleh para pujangga Indonesia diadaptasikan menjadi bahan cerita wayang. Suku Bangsa Jawa, juga mengenal Abiyasa dengan sebutan Empu Wiyasa. 

Selain bergelar Prabu Krisnadwipayana, Abiyasa juga mempunyai beberapa nama yang lain. Nama 
Dewayana diberikan kepadanya karena ia memiliki sifat-sifat seperti dewa. Ia pun disebut Sutiksnaprawa, yang artinya 'orang yang arif bijaksana'. Gelar lainnya adalah Rancakaprawa yang artinya suka menolong mereka yang sedang ditimpa kemalangan. Nama Abiyasa sendiri mengandung arti 'orang yang selalu dekat dengan sifat-sifat yang terpuji.' Abi atau abhi artinya dekat, sedangkan yasa artinya sifat yang terpuji. Sedangkan dalam Wayang Golek Purwa Sunda, Abiyasa juga disebut Subyasa, dan Wijana. 


Pada lakon-Iakon pewayangan, termasuk lakon carangan, Begawan Abiyasa lebih sering terlibat dalam alur cerita. Banyak lakon yang menceritakan bagaimana para Pandawa atau putra mereka minta petunjuk, nasi hat, atau arahan dari pertapa tua ini. Abiyasa juga aktif memberikan nasi hat, bahkan juga peringatan pada para Kurawa dan Prabu Drestarastra mengenai sikap mereka yang dinilainya kurang adil, kurang jujur, dan serakah. Drestarastra dinilai terlalu lemah pendiriannya, terlalu menuruti bujukan serta hasutan istri dan anak-anaknya. Karena merasa sarannya diabaikan dan kata-katanya tidak didengarkan, pernah keluar kutukan dari Begawan Abiyasa pada anak sulungnya itu. 

Katanya: "Kalau Drestarastra dan Gendari masih juga selalu memanjakan anak-anaknya dan melindungi perbuatan jahatnya, maka kelak ia dan istrinya akan mati diinjak-injak anaknya sendiri ... " 

Kata-kata bertuah ini, dalam eerita pewayangan, kemudian ternyata terbukti. (Baea RESTARASTRA, 
PRABU) 

Kutukan itu diucapkai tatkala Abiyasa mendengar berita tentang pengusiran para Pandawa dan Dewi 
Drupadi dari istana dan dibuang ke hutan sesudah mereka kalah berjudi. 

Tetapi sebagian dalang menyebutkan bahwa kutukan itu diueapkan beberapa saat sesudah Abiyasa sadar dari pingsan, sesudah para Kurawa menerjang dirinya hingga roboh dan pingsan, dalam lakon 
Rebutan.Lenga Tala. (Baea LENGA TALA) 

Sewaktu Pandu Dewanata meninggal akibat kutukan Resi Kirnindama, Abiyasa tahu bahwa Batara 
Guru menjebloskan putranya itu ke neraka. Ia marah dan naik ke kahyangan, menyampaikan protesnya pada Batara Guru yang dianggapnya tidak adil. Pemuka dewa itu tetap pada pendiriannya sehingga Abiyasa berucap, bersedia melakukan apa saja untuk menebus dosa-dosa Pandu Dewanata, anaknya. 

Kemarahan Abiyasa akhirnya diredakan oleh Batara Endra, dengan menyatakan bahwa yang dapat 
me-ngentaskan Pandu Dewanata dari neraka hanyalah anak-anaknya. Bukan bapaknya. 

Kitab Mahabarata yang asli adalah mahakarya Begawan Abiyasa sebagai pujangga sastra. Buku, yang 
kemudian dianggap sebagai salah satu Buku Suei bagi penganut agama Hindu, itu terdiri atas 18 parwa, dan lebih dari 7.000 seloka. Dalam menuliskan karya besar ini, Abiyasa dibantu oleh Batara Ganesa, dewa yang berkepala gajah, dan dikenal sebagai dewa ilmu pengetahuan dan seni sastra. 

Baea juga AMBIKA DAN AMBALlKA, DEWI; ASTINA, KERAJAAN; DURGANDINI, DEWI; dan 
PALASARA, BEGAWAN. 

Seputar Tokoh: 

SAKRI - DEWI SATI

PALASARA - DURGANDINI 
CITRAGADA - WICITRAWIRYA 

DEWI AMBIKA - ABIYASA - DEWI AMBALlKA 
DAYANG DRAT! 

DRESTARASTRA - PANDU DEWANATA 
YAMAWIDURA 

KURAWA - PANDAWA - SANJAYA - YUYUTSUH 

Lakon-lakon yang Melibatkan Abiyasa 

Abiyasa Lair 
Wahmuka-Arimuka 
Abiyasa Krama (Abiyasa Kawin) 
Abiyasa Maguru 
Abiyasa Boyong 
Abiyasa Dadi Ratu 
Seta Ngraman 
Jumenengan Parikesit 
Abiyasa Moksa 

Sumber : Ensiklopedi Wayang Indonesia - Jilid 1 [A-B]
                SENA WANGI ( Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia)

Add your message to every single people do comment here
EmoticonEmoticon

 

Start typing and press Enter to search